Kamis, 19 Januari 2017


                               Bertemu 3 Pocong Idiot

Magrib menjelang, angin semilir berhembus, aku dan kedua temanku sedang melakukan perjalanan pulang. Kami berjalan kaki mendaki dan menuruni perbukitan, terjal berliku. Tidak ada rumah satupun ketika kami melintas, yang ada hanya hutan-hutan dan perkebunan milik warga, itu pun perkebunan tanaman besar. Golok di pinggang menjadi satu-satunya teman bila ada hewan buas yang menyerang.
Kami semua dari hutan untuk mencari daun obat untuk mengobati luka ibuku yang kakinya terkena minyak panas. Namun karena jarak rumah dan hutan yang begitu jauh kami harus sabar berjalan. Kami terus berjalan sambil membawa “rinjing”, wadah yang terbuat dari bambu, berisikan tanaman obat tersebut. Hingga akhirnya desa sudah terlihat, tetapi masih jauh lagi.
“Istirahat dulu lah”, ungkap Indra salah seorang temanku. Aku melihatnya yang begitu letih, aku duduk untuk istirahat dengannya. Sambil melihat cahaya gemerlap pedesaan Ihsan berkata,”Haduh masih jauh sekali, kita harus menuruni bukit yang jauh ini untuk bisa sampai di rumah”.
“Iya ini, kita kelamaan di hutan si jadi enggak sadar”, ungkapku. Aku melihat Indra dan Ihsan dan berkata,”Jalan lagi yok pelan-pelan hari sudah semakin malam, tempat ini berbahaya”, ungkapku kepadanya. Mereka langsung berdiri dan mulai berjalan lagi. Tanpa sebuah ucapan dan tanpa saling mengobrol kami terus berjalan menuruni bukit ini hanya dengan satu penerangan saja.
Kami berjalan terus dan berharap sekali bisa cepat sampai. Sampailah kami di bawah dan melewati pepohonan yang begitu besar dan lebat. Samping pohon besar juga banyak sekali pohon bambu yang begitu rimbun. Suasana begitu gelap dan dingin karena di bawah pohon langsung. Aku terus berjalan melewati terowongan pohon tersebut.
Dengan langkah yang perlahan aku berjalan melewati terowonangan tersebut. sementara itu aku melihat Ihsan begitu ketakutan ketika melintasi trowongan ini. Hingga sampailah kami di tengah-tengah terowongan dan berhenti sejenak, karena aku merasa ada yang sedang mengikuti kami dari balik pohon yang ada di sampingku. Aku menyinari dengan senterku dan tidak ada orang satupun di sana.
Ihsan yang sedang ketakutan berkata padaku,”Kamu nyenterin apa sih, ayo jalan lagi”. Aku berjalan lagi dan membuang jauh-jauh pikiran tentang orang yang mengikutiku. Tetapi 5 langkah aku berjalan ada suara lagi di balik pohon tersebut seperti ada orang yang berjalan. Aku menghentikan langkahku dan berkata kepada temanku,”Kalian dengar enggak seperti ada yang lewat di balik pohon”.
Sambil bingung dengan apa yang terjadi mereka berkata,”Enggak, emang ada apa sih Wan”, sambil berbisik-bisik.
“Aku merasa ada orang yang mengikuti kita di balik pohon itu”, ungkapku kepada teman-temanku. Dengan muka yang ketakutan dia berkata,”Yang bener kamu Wan..?”. “Tapi tenang saja, di sini kita kan enggak ganggu mereka dan sekedar ingin lewat”, ungkapku menenangkannya.
“Iya sih tapi serem Wan”, ungkap temanku sambil memegang tanganku. “Sudah tenang saja, ayo berjalan lagi”, aku berjalan lagi dan temanku mengikutiku sambil memegang tanganku. Suara itu muncul lagi hingga membuatku geram. Aku melemparnya dengan batu tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Kami berjalan lagi dan sampailah di tempat yang lebih menyeramkan lagi.
Bulu kuduk kami semua merinding ketika melewati tempat ini. Apalagi ditambah suasana yang semakin dingin, seram. Tapi aku terus menenangkan diriku dan teman-temanku untuk tidak takut. Kami terus berjalan dengan begitu hati-hatinya.
“Wan.. Wan.. itu di samping pohon apa Wan”, ungkap Ihsan dengan begitu ketakutan dan dengan suara dengan artikulasi yang kurang benar. Aku tidak menghiraukan dan berkata,”Apa sih, kamu tenang saja enggak ada apa-apa”, ungkapku.
“Wan, itu pocong Idiot!, mukanya jelek banget kain kafannya juga sudah jelek, sobek-sobek”, ungkap Ihsan. Aku terus menghadap depan dan berjalan sambil berkata,”Mana ada sih pocong”, ungakapku. Dia menarik aku lagi dan berkata,”Itu di belakang”,  berlari meninggalkanku dan Indra.
Aku dan dan Indra menghadap ke belakang dan sontak kami tidak bisa berkata apa-apa. Kami berlari dengan begitu cepatnya dan menyusul Ihsan yang sudah dulu berlari. Hingga sampailah aku di tempat Ihsan sedang duduk melepas lelah sambil menungguku dengan Indra.
“Bener kan, aku tidak bohong ada pocong”, ungkap Ihsan sambil terengah-engah. Aku duduk di samping Ihsan dan bekata,”Iya bener kamu, aku kaget banget itu, ngeri lihat wajahnya yang di penuhi belatung”. “Wan, Shan, itu sih sana ada lagi”, ungkap Indra dengan begitu ketakutan. Aku melihat Indra dan berkata,”Ada apa…?”. Dia terus ketakutan dan terus menunjuk ke arah pohon besar. Aku melihat ke arah pohon yang di tunjuk oleh Indra.
Berbeda dengan yang tadi ini lebih menyeramkan dan sontak membuat kami lari. Dengan terus berlari kami berkata,”Tolong pocong…!”. kami berlari terus dan sampailah kami keluar dari trowongan mistis ini. Meski permukiman warga masih jauh setidaknya kami sedikit lebih nyaman karena di sini tempatnya sedikit terbuka dan tidak seseram tadi.
Kami duduk sejenak untuk mengumpulkan energi untuk kami berjalan lagi. Kami minum air yang tinggal sedikit ini. Dengan cermat kami membaginya secara rata agar cukup untuk kami bertiga. Kami berjalan lagi melewati padang  ilalang. Meski terbuka ilalang ini juga cukup membuat kami was-was, karena ketinggiannya melebihi kami, dan kami tidak tahu apa yang di balik ilalang tersebut. Bisa saja seperti yang aku temui ketika di terowongan tersebut.
Kami terus berjalan hingga akhirnya sampailah kami di sungai. Kami melewati jembatan untuk sampai ke seberang. Tubuh kami kembali merinding seolah kehadirannya kini sudah di samping kami. Kami terus melihat ke kanan, ke kiri, ke depan, belakang, atas, sambil berjalan.
Aku terkejut melihat permukaan air di tengah naik dan membentuk gunung. “Weh itu ada apa..?”, ungkapku berteriak kepada temanku. Tak lama kemudian air yang berbentuk gunung tersebut pecah dan ternyata di dalamnya ada sosok yang mengerikan.
Matanya bersinar merah, sedang mukanya penuh darah. Aku berlari dengan begitu cepatnya tanpa mempedulikan teman-temanku yang juga sedang berlari di belakangku.
Aku terus berlari hingga akhirnya aku sampai di permukiman desa. Aku dan temanku duduk sejenak, kami sedikit sok dengan apa yang kami lihat. Ketika kami memejamkan mata, kami terus teringat muka mahluk mengerikan yang kami temui, bak wajah seorang kekasih yang tak pernah mau pergi dari pikiran. Kami berjalan pulang untuk kemudian mandi dan memberikan obat yang kami dapat untuk ibuku.
Tetapi aku tidak habis pikir mengapa para pocong itu muncul di hadapan kami. Apakah salah kami, tapi yang pasti aku dan temanku sangat beruntung masih bisa pulang ke rumah dengan selamat tak kurang satu apapun kecuali peluh yang tercecer dijalanan.
Mungkin kejadian yang terjadi hari ini akan menjadi pengalaman yang mendidik yang tentunya akan aku ambil hikmahnya. Dengan pengalaman ini aku sadar bahwa malam memang bukan waktunya untuk pergi ke hutan. Mungkin di lain waktu aku akan mengatur waktuku hingga aku tidak kemalaman di jalan.

sumber :
https://kumpulan-tugas-sekolahku.blogspot.co.id/2016/09/bertemu-3-pocong-idiot.html?m=1

               ~Penulisan Arbi Pramana~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar